Seorang mahasiswa sedang melintas di depan
gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis, . Foto: Arisal/Identitas.
“Ketua Program Studi Magister Manajemen Keuangan, Prof Dr
Idayanti Nursyamsi, selalu marah ketika mahasiswa tidak sepakat dengan
keinginannya. Kemudian, selalu bilang akan saya ‘lacikan’ berkasnya, karena
merasa takut, ya kami ikut saja,” kata Raka.
Raka (nama samaran) tak lagi bisa menahan rasa kesal terhadap
perilaku ‘sewenang-wenang’ Kepala Program Studi Magister Manajemen Keuangan,
Prof Dr Idayanti Nursyamsi. Mahasiswa pascasarjana fakultas ekonomi itu
menceritakan dengan gamblang terkait tindakan penyalahgunaan jabatan yang dilakukan
terhadap dirinya dan teman angkatannya. Dia membuka percakapan dengan
menceritakan perihal mata kuliah Benchmarking.
Mata kuliah yang diprogram pada semester dua ini memiliki agenda
semacam study-tour ke universitas di luar negeri yang bersifat optional. Agenda
yang disepakati itu baru terlaksana saat Raka berada di semester tiga,
September 2018 lalu. Kegiatan yang awalnya bersifat optional, tetiba diwajibkan
bagi semua mahasiswa semester satu hingga semester tiga oleh Prof Ida.
Kala itu, universitas yang mereka kunjungi ialah Universitas
Kebangsaan Malaysia. Saat proses keberangkatan tersebut, mahasiswa tidak
diizinkan mengurus biaya perjalanannya sendiri, melainkan ada intervensi dari
Prof Ida. Sehingga dana yang mestinya mereka keluarkan sebesar RP. 3,5 juta,
naik menjadi Rp. 6 juta perorang.
“Jadi awalnya kami sudah siapkan agen travel sendiri. Itu
harganya kami dapat Rp. 3,5 juta. Nah, ketika prof yang urus, kami disuruh
bayar Rp. 6 juta. Kemudian, tidak ada transparansi dana kepada kami, sehingga kami
tidak tahu uang itu untuk biaya apa saja,” kata Raka, Kamis (23/5).
Meski dengan penuh pertanyaan di dalam benak, pun mereka
mengikuti agenda tersebut. Hal ini karena mereka telah mendapat ancaman dari
Prof Ida. Mahasiswa yang tidak mengikuti kegiatan itu, akan dipersulit proses
pengurusan administrasinya. Ini bisa saja dilakukan oleh Prof Ida sebab tanda
tangannya diperlukan mahasiswa dalam mengurus berkas proposal dan ujiannya.
“Dia selalu marah ketika mahasiswa tidak sepakat dengan
keinginannya. Kemudian, selalu bilang akan saya ‘lacikan’ berkasnya, karena
merasa takut, ya kami ikut saja. Padahal tidak semua mahasiswa punya kemampuan
ekonomi yang sama,” ungkap Raka kepada identitas.
Setelah berada di Malaysia, Raka tidak menemukan manfaat dari
kegiatan itu. Dia mengatakan bahwa aktivitas yang mereka lakukan di sana hanya
melihat-lihat perpustakaan, ikut permainan, berkunjung ke Kedutaan Besar
Republik Indonesia (KBRI), jalan-jalan dan kembali ke Indonesia.
“Menurut saya, tidak ada kaitannya antara kunjungan ke Malaysia
kemarin itu dengan mata kuliah kami. Kami hanya diberi gim seperti anak TK, ke
KBRI hanya untuk melaporkan bahwa kami-Warga Negara Indonesia-sedang berkunjung
ke Malaysia, itu saja,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa yang bertemu dengan pimpinan
Universitas Kebangsaan Malaysia hanya lah Prof Ida, beserta jajaran pejabat
yang juga ikut dalam rombongan. Di antaranya Dekan Fakultas Ekonomi, Prof Dr
Rahman Kadir, Wakil Dekan bidang Akademik Fakultas Ekonomi, Prof Dr Mahlia
Muis, Wakil Dekan bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Dr Madris, dosen pengampuh
mata kuliah benchmarking, Dr Nuraeni dan dosen di fakultas
ekonomi, Erlina Patki.
Setelah kegiatan benchmarking selesai, Prof Ida
meminta kepada teman Raka untuk membeli album foto. Nantinya, album foto itu
akan menjadi tempat potret kegiatan mereka selama di Malaysia. “Jadi, teman
saya itu disuruh beli album foto untuk kegiatan benchmarking.
Harganya itu sekitar Rp. 1 juta, itu sudah dengan jasa mengeditnya,” beber
Raka.
Raka berharap agar kegiatan Benchmarking ini
dihilangkan karena tidak semua mahasiswa memiliki kemampuan ekonomi yang sama.
Namun, jika memang kegiatan tersebut dirasa perlu, di Makassar pun bisa
dilaksanakan.
“Di daerah Kima sana, kan banyak ji perusahaan
yang bisa dikunjungi untuk benchmarking. Apalagi kegiatannya
diwajibkan untuk semester 1 yang notabene belum mengambil mata kuliah benchmarking itu
sendiri,” harapnya.
Terus Diancam, Mahasiswa Makin Tak Berkutik
Setelah kegiatan benchmarking, Prof Ida kembali
mewajibkan mahasiswa semester empat untuk mengadakan kunjungan ke bursa efek di
Jakarta. Lagi-lagi dia lah yang turun tangan mengatur akomodasi para mahasiswa.
Kali ini, setiap mahasiswa diwajibkan membayar Rp. 5 juta, belum termasuk uang
makan saat di Jakarta nanti.
Raka dan teman-temannya bertanya-tanya mengapa kunjungan ke
bursa efek diwajibkan bagi mereka, padahal yang menyusun proposal terkait bursa
efek hanya dua orang. Akhirnya, beberapa orang teman Raka menyampaikan
ketidaksetujuan mereka kepada Prof Ida. Tapi malah respon tidak baik yang
mereka terima.
“Saat teman saya menghadap ke ruangan prof untuk menolak
kegiatan itu, malah mereka dimarahi dan prof bilang tidak akan memproses
administrasi mereka,” jelas Raka.
Berkat ancaman itu lah, mereka akhirnya bersedia mengikuti
agenda yang rencananya dilaksanakan pada 29 Juni mendatang.
Hingga berita ini diturunkan, Prof Ida masih belum memberikan
klarifikasi apa pun. Prof Ida sedang tidak berada di ruangnnya saat identitas hendak
mengkonfirmasi informasi tersebut, Jumat (24/5) dan Senin (27/5). Pun telepon
dan SMS tak mendapat tanggapan dan respon darinya. Chat yang identitas kirimkan
hari ini hanya tercentang dua berwarna biru tanpa ada tanggapan sama
sekali. Hal itu juga berlaku bagi Dekan Fakultas Ekonomi, Prof Rahman
Kadir. Ia masih belum memberikan respon apa pun.
Koreksi : Di berita sebelumnya, identitas menyebutkan
bahwa Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Prof Dr Arsunan Arsin dan
Direktur Alumni dan Penyiapan Karir, Dr Abdullah Sanusi turut mengikuti
kegiatan benchmarking di Malayasia. Ternyata, yang dimaksud
Raka ialah Wakil Dekan bidang Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Dr Madris, dan Abdullah Sanusi tak ikut pada kegiatan itu.